Seringkali kita terjebak dengan situasi membanding-bandingkan pencapaian dengan orang lain, tanpa peduli konteks prestasi secara utuh. Prestasi belajar anak seharusnya dinilai dalam konteks yang lebih luas, termasuk aspek-aspek seperti perkembangan sosial, emosional, fisik, psikologis, dan lainnya. Kesadaran ini harus dibangun sepenuhnya baik oleh orang tua maupun guru di sekolah.
SAB menaruh perhatian besar pada hal tersebut dan meyakini bahwa dengan modal kemampuan yang berbeda-beda, setiap anak dapat mencapai titik optimalnya dengan pendidikan yang berdiferensiasi. Termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin empat, salah satu pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang inklusif, termasuk inklusif terhadap beragam kemampuan siswa. Hal ini berarti bahwa sekolah harus mampu memberi kesempatan yang sama untuk peserta didik dengan potensi yang berbeda-beda. Hal ini pun ternyata sudah menjadi perhatian menteri pendidikan dengan dasar dari Undang-undang No 2 tahun 2003 tentang (Sisdiknas) pada pasal 36 ayat 2, kurikulum harus dikembangkan dengan prinsip diversifikasi, salah satunya adalah sesuai dengan keadaan siswa. Kurikulum merdeka membuat upaya pendidikan berdiferensiasi.
Dalam mewujudkan pendidikan berdiferensiasi, SAB melakukan serangkaian upaya yang bahkan dilakukan jauh sebelum pembelajaran dimulai, salah satunya dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Seleksi masuk SAB menggunakan sistem asesmen diagnostik yang memungkinkan hasil tes tidak sekadar menjadi bahan seleksi calon siswa baru, namun lebih jauhnya dapat digunakan sebagai rekomendasi dan bahan pertimbangan bagi para stakeholder.
Tes Akademik Dasar
SAB melakukan asesmen akademik dasar calon siswanya yang meliputi kemampuan literasi dan numerasi, serta tes pengetahuan dasar Agama Islam. Ketiganya merupakan kemampuan prasyarat yang menjadi landasan para guru SAB dalam membimbing pembelajaran siswa.
Literasi dan numerasi merupakan kemampuan general dan mendasar untuk pemecahan masalah baik personal, sosial, bahkan profesional. Dua kemampuan ini menjadi dasar asesmen dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam PISA (Programme for International Student Assessment). Asesmen ini mengukur kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekadar menggambarkan prestasi akademik terhadap konten pelajaran tertentu saja, sehingga hasilnya lebih komprehensif dan general dan dapat digunakan oleh seluruh guru.
Selain literasi dan numerasi, SAB sebagai sekolah islam terpadu juga melakukan tes pengetahuan dasar Agama Islam untuk mengukur sejauh mana anak mengetahui pengetahuan islam sebagai agamanya. Refleksi dari hasil tes ini dapat menjadi bahan pertimbangan pembinaan keislaman bagi anak tersebut sehingga tujuan bersama dapat dicapai dengan baik.
Psikometri SDQ untuk Skrining Keadaan Mental Dasar Anak
Kondisi psikologis anak juga penting untuk diketahui untuk menyelenggarakan pendidikan yang berdiferensiasi. Setiap anak dengan keadaan mental yang berbeda semestinya mendapat bimbingan yang disesuaikan juga.
Psikotes yang dilakukan SAB pada calon siswa baru menggunakan instrumen Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ), sebuah instrumen skrining sederhana perilaku anak dan remaja (3-17 tahun) yang menggambarkan keadaan mental dasar anak yang berfokus pada kekuatan dan kesulitan mereka. Adapun dimensi yang dapat tergambar dari asesmen ini adalah perilaku prososial, hiperaktivitas, masalah perilaku, gejala emosi, dan hubungan dengan teman sebaya.
Hasil skrining dapat menjadi bahan pertimbangan stakeholder dalam memperlakukan dan membimbing anak dalam proses pendidikan, serta agar pada saat pemrograman pembelajaran, sudah dipikirkan mengenai bentuk intervensi pembelajaran yang cocok
Pengecekan Kemampuan Dasar, Kemampuan Menghafal dan Keabsahan Membaca Qur’an
Calon siswa juga diminta mengirimkan video pembacaan Al-Qur’an yang menjadi bahan penilaian untuk persiapan menghafal qur’an. Dari video tersebut, penilai mengukur kefasihan bacaan yang meliputi makharijul huruf, tajwid, adab, dan kemampuan menghafal.
Hasilnya akan menjadi gambaran titik mulai bagi anak dan orang tua. Muhafidz sebagai pembimbing tahfidz juga dapat menggunakannya sebagai placement test sehingga menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan bimbingan seperti apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan proses tahfidzul qur’an yang akan dilaksanakan.
Ketiga asesmen ini diharapkan mampu menjadi bekal bagi para stakeholder pendidikan SAB bersama orang tua sebagai mitra terbaik dalam pendidikan anak, untuk menjalankan pembelajaran berdiferensiasi.